Afifah Tas’a Jahara, satu-satunya anak dengan special needs yang aku ajar di grade 7 kemarin. Sebagai guru baru, aku termasuk yang cepat sekali diterima oleh Afifah. Sejak awal aku tahu kalau dia punya kekurangan. Seperti anak penyandang cerebral palsi lainnya, kita bisa langsung melihat perbedaan fisik Afifah dibandingkan dengan teman-temannya. Aku nggak tahu bagaimana awalnya, tapi tiba-tiba saja Afifah begitu lengket denganku, padahal dia masih punya guru pendamping saat itu. Menurut guru-guru yang lain, itu karena sikapku yang terlalu baik padanya. Afifah memang sering sekali datang ke kantor guru dan memanggilku hanya untuk meminta tolong membetulkan ikatan rambutnya. Ternyata sikapku itu membuat dia merasa bisa mengandalkan aku di banyak hal, membuatnya nggak mandiri. Setelah menyadari hal itu, perlahan aku mulai mengajaknya untuk melakukan banyak hal sendiri, walaupun masih dengan aku menemani di sisinya.
Masih di hari yang sama, aku mendampinginya melakukan terapi di LSC. Banyak kegiatan yang harus Afifah lakukan di sana. Di antaranya, melatih kelenturan jari dengan memasang dan membuka kancing baju, menjahit jelujur dengan papan khusus, dan melempar bola, dan oh iya Afifah juga melakukan terapi berjalan. Semua itu dilakukan untuk melatih kelenturan organ tubuh bagian kirinya yang memang sudah kaku sejak lahir. Afifah menjalani semuanya dengan tekun dan sabar. Aku terus mendampingi di sampingnya, melihat step-step yang dilakukan terapist dan melihat dia dengan susah payah mengikuti. Afifah membutuhkan waktu hampir sepuluh menit untuk memasang satu kancing dan membukanya kembali. Dia membutuhkan waktu hampir setengah jam untuk menjahit jelujur dan membukanya kembali. Sementara untuk menapakkan kaki kirinya dengan sempurna, dia masih terlihat sangat kesulitan. Dadaku sesak menjalani sesi terapi itu, air mataku sudah mengambang, sebelum ia mengalir lebih deras aku mohon diri ke kamar mandi. Aku menangis sendiri di sana. Trenyuh dengan kenyataan itu. Kubandingkan dengan diriku sendiri yang masih sering kali mengeluh kalau timbangan naik satu kilo, marah-marah kalau di akhir bulan kehabisan uang, senewen sendiri kalau nggak ada orang yang bisa menemani saat weekend. Kelakuan yang semakin terlihat konyol jika dibandingkan dengan pengalamanku di hari itu.
Kasus dari artikel diatas menunjukkan perlunya terapi bagi anak dengan special needs.

sumber : arthepassion.multiply.com dan http://dyahanggraini.ngeblogs.com/2010/04/20/terapi-bagi-anak-special-needs/